Posts Tagged ‘anak kecil’

BELAJAR DARI ANAK KECIL

Sekarang jam 15.32 waktu di pedalaman hutan sawit Prabumulih, Palembang. Saya berada di tempat kerjaan saya saat ini, onshore rig. Beberapa jam yang lalu kami (saya dan dua orang rekan kerja) berencana untuk membeli beberapa materai sebagai pembubuh tandatangan untuk client kami di rig ini. Berencana menuju kota Prabumulih tapi di tengah perjalanan komandan kru berencana lain, ia ingin untuk menghemat waktu pembelian materai dan perlengkapan lain-lain dititipkan saja ke driver yang nantinya akan melewati rig kami. Strada 4×4 memutar haluannya, dan kami berbalik.

image

Sebuah rig di kala senja

Bukan cerita tentang bagaimana kondisi di rig, suasana kerja atau lainnya. Saya ingin menuangkan gagasan pada suatu hal yang unik ketika mampir di warung dekat sekolah dasar dimana kami mencari materai. Saya agak sedikit kaget, karena komandan kru melihat ke arah balon-balonan yang biasa anak kecil tiup, dan jika pecah mereka tempelkan ke muka mereka. Rekan kerja yang bertubuh gempal itu seolah meminta persetujuan kepada satu-satunya wanita dalam kru ini dan segera mendapatkan acungan jempol. Terbeli balon tiup ala anak SD. Sekitar lebih dari 20 buah terbeli.

image

Balon tiup buat masker

Ketika keluar dari warung tersebut, saya melihat anak SD berseragam pramuka. Sekilas pandangan saya berlari menuju 15 tahun yang lalu. Saya tersenyum. Seolah tidak ingin melepaskan masa-masa itu dan rupanya yang ada dalam pikiran rekan-rekan ini juga sama, bahkan mereka mendahului ketika mereka memutuskan membeli balon tiup. Alasannya sederhana, “jadi, kalo lagi nganggur nanti kita niup-niup balon ini aja”, sambil tertawa ringan. Mungkin itu bukan alasan pasti. Tapi dengan balon itu paling tidak bisa flash back ke beberapa tahun yang lalu.

Fase hidup terus berjalan, dan akhirnya mengantarkan kita pada posisi saat ini. Posisi dimana mungkin sebagian kita adalah mahasiswa, pekerja, ibu rumah tangga, atau pelajar. Tiap fase hidup yang sedang ataupun yang sudah kita jalani ini memberikan bekas tersendiri pada diri kita pribadi. Proses pembelajaran hidup mengantarkan kita bagaimana menyikapi hidup. Hal tersebut di lihat dari keputusan-keputusan yang kita ambil saat menghadapi suatu masalah.

Masa lalu memang tidak akan pernah bisa dilupakan begitu saja. Hidup kita adalah rangkaian, yang akan saling terkoneksi satu dengan yang lainnya. Sekuat apapun kita berusaha untuk melupakan masa lalu yang kelam, toh pastinya kita akan selalu terhenti pada titik di masa lalu yang akan membuat kita terdiam, berpikir, tersenyum, tertawa, atau bahkan bulir air mata mengalir tanpa kita sadari. Titik tersebut adalah titik dimana tidak akan bisa kita lupakan begitu saja. Jika kita merasa kuat saat ini, merasa bahwa dengan mudah menyelesaikan segala masalah, sadarilah dengan kebijaksanaan yang kita miliki, saat itu berarti kita sedang mencoba menggabungkan solusi-solusi yang pernah terekam dalam hidup kita menjadi suatu solusi besar sehingga menghasilkan suatu produk pribadi, bernama kedewasaan.

Ah, jika aku diminta untuk memilih, maka aku akan memilih untuk menjadi mahasiswa saja. Tanpa ada tekanan dari atasan, tanpa ada sesuatu yang menghalangi dan membatasi. Kuliah di pagi hari, siang hari bisa berdiskusi tentang negara atau cara untuk ngegebet si A atau si B, jalan, berkeliling-keliling, organisasi, hingga cara agar demonstrasi besok berjalan terkendali. Hal tersebut bila dibandingkan dengan mereka para pekerja, pasti mereka yang sudah bekerja akan berkata,

“bener men, masa-masa yang paling enak adalah masa mahasiswa”

image

After a demonstration

Tapi ketika dulu, ketika mahasiswa, atau bahkan mungkin yang menjadi mahasiswa saat ini. Sebagian orang lagi berpikir bahwa menjadi mahasiswa banyak tekanan dimana kemandirian adalah tuntutan utama menjadi mahasiswa. Lebih enak menjadi siswa putih abu-abu, alias anak SMA.

Semakin mundur, semakin mundur hingga semua punya kesimpulan. Masa paling indah adalah masa anak-anak, masa dimana guru-guru SD mengarahkan kita untuk melakukan itu, tidak melakukan ini, dan sebagainya. Masa dimana ketika jam istirahat, kita berlarian keluar gedung sekolah untuk menikmati permainan-permainan kecil kita saat itu. Bermain karet, bola, galasin, benteng, kelereng, dan lainnya yang dengan itu pasti orang tua akan memarahi kita karena seragam sekolah kita acap kali kotor. Ah, betapa menyebalkannya orang tua kita saat itu, tapi jika kita mengingatnya sekarang, kita merindukan masa-masa itu. Perhatian dan kasih sayang dari orang tua kita. Saat itu marahnya ibu ataupun ayah, adalah suatu hal yang cukup kita takuti.

image

Anak SD

Jika dibandingkan dengan sekarang sebenarnya apa yang kita takuti saat ini? Mungkin semua hal yang membuat kita merasa tidak nyaman, lantas bagaimana mengusir ketidaknyamanan tersebut?

Saya tidak tahu pasti bagaimana mengusir rasa ketidaknyamanan yang muncul. Tapi saya selalu berusaha ketika ketidaknyamanan itu muncul segera saya arahkan pikiran ini pada masa dimana kita masih mengenakan seragam putih merah.

Ketidaknyamanan akan memunculkan beban dan tekanan, atau sebaliknya beban dan tekanan menghasilkan ketidaknyamanan. Semua orang berusaha mengusir ketidaknyaman itu, cara singkat sederhana, shortcut. Salah satu contoh, suami merasa tidak nyaman dengan istrinya maka ia selingkuh. Seorang kekasih akan memutuskan kekasihnya. Seorang anak yang tidak nyaman terhadap orang tuanya, kabur dari rumah. Seorang pekerja yang tidak nyaman dengan atasan atau perusahaannya ia akan keluar dari pekerjaan itu. Atau seorang mahasiswa yang tidak nyaman terhadap mata kuliah tertentu atau terhadap dosen tertentu, maka ia tidak akan masuk ke mata kuliah atau dosen tersebut. Semuanya dilakukan agar ketidaknyamanan berubah menjadi kenyamanan.

Sederhana, kita hanya butuh tempat untuk kabur dari ketidaknyamanan yang mengekang diri kita. Tapi terkadang tempat kaburnya kita itu adalah benih dimana ketidaknyamanan baru akan muncul. Pengambilan keputusan selalu didasari oleh pengalaman, kekuatan diri kita dalam “kabur”nya diri tercermin dari masa lalu yang kita lalui.

Apakah anak kecil akan kabur dari rumah ketika orang tua memarahi mereka. Apakah anak kecil akan tidak masuk sekolah apabila guru mereka begitu mereka benci. Apakah anak kecil akan berhenti belajar berjalan ketika mereka harus jatuh dan terjatuh. Sederhananya adalah, kemampuan kita membawa pola pikir kita seperti pola pikir anak kecil akan membuat kita survive dari ketidaknyamanan yang kita hadapi berulang-ulang.

Seorang anak kecil tidak tahu dimana mereka akan tinggal ketika mereka meninggalkan rumah. Itu karena mereka tidak tahu apa-apa tentang dunia luar.

Seorang anak kecil akan tetap masuk sekolah seperti apapun menyebalkannya guru mereka. Itu karena mereka tidak paham seperti apa jika mereka tidak sekolah, mereka hanya menjalani dan menjalani peran mereka saat itu. Artinya tidak ada pilihan lain, selain harus sekolah.

Seorang anak kecil tidak akan stress ketika ia harus terjatuh dan terjatuh lagi ketika belajar berjalan. Hal ini karena mereka tidak tahu apa-apa selain berjalan dan berjalan. Mereka tidak tahu apa artinya ketekunan. Yang mereka lakukan adalah bangun dari jatuh dan berjalan lagi, dan tidak berpikir bahwa mereka setelah itu pasti akan jatuh lagi. Coba seandainya jika pikiran anak kecil seperti pikiran kita saat ini. Pasti anak kecil manapun akan duduk malas dan berhenti mencoba untuk berjalan.

image

Kaki bayi saat belajar berjalan

Ketika rasa ketidaknyamanan muncul. Alangkah baiknya jika kita berlaku seperti anak kecil. Tidak tahu apa-apa. Semua segala macam pengetahuan yang kita miliki kita tutup. Jangan berpikir dunia diluar sana akan seindah bayangan kita, tentunya jika hal itu dulu terjadi dalam diri saya pribadi dengan pola pikir saat ini ketika orang tua marah terhadap saya saat kecil dulu, seketika saya kabur dari rumah. Jika saat ini kita sadar, pikirlah bahwa dunia diluar kita ternyata terlalu berat buat jiwa anak kecil seperti kita ini.

Dan satu lagi pembelajaran dari anak kecil, do the best. Seburuk dan setidaknyamannya ketidaknyamanan kita. Maka lakukanlah yang terbaik. Bahkan ketika rasa pesimis sudah memenuhi jiwa, berjuang dan bergerak melakukan yang terbaik, jangan pernah berhenti bertarung, itu adalah kuncinya.
Siapapun kita, apapun profesi kita. Berpikirlah seperti anak kecil. Hilangkan segala pengetahuan tentang dunia luar, tentang kenyamanan sesaat, tentang pengalaman yang pernah terjadi. Berpikir seperti anak kecil, bahwa kita tidak punya apa-apa dan tidak tahu apa-apa, sehingga kita akhirnya melakukan yang terbaik, do the best, di sela-sela ketidaknyamanan kita. Dijamin setelah itu rasa nyaman akan muncul kembali.

Alam telah mengatur bahwa bukan hanya yang muda selalu harus belajar dari yang tua. Suatu saat yang tua harus melihat bagaimana anak kecil, anak yang sangat muda mengajarkan kehidupan kepada yang tua.

(Jumat, 4 Feb 2011. Prabumulih, Sumatera Selatan)